Departemen Keuangan menghadapi tantangan yang tidak ringan pada saat ini. Depkeu disorot secara multi dimensi oleh masyarakat. Berbagai masalah bermunculan, termasuk diantaranya jabatan rangkap bagi para pejabat di posisi strategis nasional. Apakah ini memberikan sinyal bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dalam kondisi krisis dari sisi tenaga kerja profesional? Pandangan kondisi di Depkeu ini disampaikan baru-baru ini oleh Masyhuri Haz Hasibuan SH selaku pengamat pemerintahan kepada reporter kami baru-baru ini.
Jabatan rangkap di pemerintah adalah ketika seseorang memegang lebih dari satu jabatan di pemerintahan pada saat yang sama. Praktik ini terjadi di Indonesia. Dalam beberapa kasus, praktik ini dapat menimbulkan masalah karena dapat memunculkan konflik kepentingan.
Jabatan rangkap dapat menimbulkan masalah seperti konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran etika. Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan aturan yang melarang pejabat publik untuk memegang lebih dari satu jabatan di pemerintahan pada saat yang sama.
Terkait dengan rangkap jabatan ini, berbagai media di Indonesia sedang mengangkat topik tentang teridentifikasi paling tidak sebanyak 39 pejabat di Departemen Keuangan yang memiliki rangkap jabatan pada berbagai posisi strategis di negara ini. Termasuk Sri Mulyani sebagai pemegang posisi puncak menteri yang merangkap sebanyak 30 jabatan.
“Pertanyaan yang menarik bagi bangsa ini, apakah tidak ada penduduk yang pantas memegang jabatan-jabatan tersebut? Sebegitu buruknya kah SDM yang ada di negara dengan penduduk terbesar ke empat di dunia ini?” kritisi Hasibuan.
“Dari sisi regulasi, berbagai peraturan di pemerintah telah menegaskan tentang dilarangnya jabatan rangkap ini. Larangan ini ditetapkan ke kalangan jajaran pemerintah, namun celah hukum dijadikan sebagai alasan untuk menghalalkan jabatan rangkap tersebut. Larangan jabatan rangkap tentu perlu direalisasikan karena memiliki potensi besar munculnya permasalahan dan terjadinya aspek negatif di kalangan pelaksana pemerintahan,” ungkap Hasibuan.
Melihat fenomena permasalahan yang ada, Hasibuan menyebutkan, “Pada saat awal kepemimpinan Presiden 2014, hutang negara ini sebesar 2.608 triliun. Ketika itu, isu masyarakat berkembang, sampai tujuh turunan pun hutang tersebut belum tentu terbayarkan atau menjadi beban yang tidak ringan bagi bangsa. Saat ini, hutang negara tercatat paling tidak telah mencapai 7.754,9 triliun, tentu angka yang sangat bombastis, artinya Departemen Keuangan pun seakan lolos kontrol dalam mengatur pinjaman luar negeri ini.”
Dengan angka yang besar tersebut, masyarakat juga tak mudah menemukan logika tentang hasil proyek dengan nnilai prestisius untuk mendukung penggunaan dana tersebut di negara ini. Proyek besar yang sering digaungkan diantaranya pembangunan ibu kota baru dengan biaya sekitar 466 triliun, Kerata Api Cepat Jakarta Bandung sekitar 112 triliun, pembangunan Jakarta Internasional Stadium sekitar 5 triliun, dan pembangunan tol. Apakah dana itu memang harus digunakan langsung dimasa sekarang? Seperti IKN misalnya. Lalu, apakah semua dana yang dibutuhkan itu tadi semua dari pinjaman? Dan masih ada ribuan triliun lain yang tidak terungkap. Uang tersebut seakan-akan tidak jelas dimana keberadaannya,” ungkap Hasibuan yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Relawan Dunsanak Anies Kota Bandung.
“Konglomerasi baru pun seakan-akan mulai muncul pada oknum pemerintah. Secara empiris, para pejabat pemerintah tidak aneh mampu mengelola kekayaan atau memiliki tabungan yang spektakuler mengalahkan para pelaku bisnis,” lanjut Hasibuan.
“Kita sama-sama melihat, daerah berteriak mengenai dana yang disediakan untuk daerah. Di sisi lain, pembangunan daerah juga tidak terlalu tampak oleh masyarakat, proyek prestisius dari realisasi angka yang sangat besar tersebut seakan tidak terlihat. Sebelumnya dengan hhutang yang tidak sebesar itu, kurs yang tidak jauh berbeda, pembangunan relatif stabil, masyarakat juga tidak tercekik,” tambah Hasibuan.
Semenjak munculnya kasus yang diviralkan oleh para netizen terkait kasus Rafael Harun, pola gaya hidup oknum pemerintah yang glamor dan mewah menjadi bagian gaya hidup bagi mereka. Ibarat bola salju, Departemen Keuangan sedang menjadi topik berbagai kejadian tidak wajar banyak disorot akhir-akhir ini oleh masyarakat dan media. Selain rangkap jabatan, kasus transaksi gelap senilai 300 triliun, 964 pegawai Kemenkeu diduga memiliki harta tak wajar, dan gaya hidup mewah pegawai pajak tidak luput dari sorotan masyarakat.
Rentetan kejadian tersebut tentu memperpuruk citra pemerintah, termasuk citra Jokowi yang sebentar lagi mengkahiri jabatannya. “Kekuatan dan gebrakan Jokowi selaku presiden yang telah menjalankan program pemerintahan dalam dua priode ini tidak seharusnya dinodai oleh para oknum pemerintah. Melalui Departemen Keuangan ini saja, terlihat mereka secara masif melakukan perusakan citra tersebut dan memperburuk citra bangsa ini,” Hasibuan.
“Jokowi mau tidak mau perlu mempertegas kebijakan serta keputusannya dengan segera, dan menindak para oknum ini agar kepercayaan dan kredibilitas Jokowi selama dua priode ini rusak di mata masyarakat,” tutup Hasibuan.
Potensi di Kementerian dan Lembaga Negara, snowball?
Lalu, apakah potensi masalah hukum penyelenggaraan negara terkait keuangan ini terjadi di lembaga lain? Snowball? Masalah ini perlu diantisipasi untuk kebaikan bangsa dan negara ini, terutama sebagai konsentrasi khusus bagi presiden dan jajarannya.
“Kejadian di Kemenkeu ini bisa dijadikan sebagai kotak pandora. Baik melalui perintah Jokowi maupun inisiatif lembaga terkait hukum di negara seperti KPK, Kejaksaan, Kepolisian, BPK, DPR, dan Ombudsman, tentu berpotensi untuk menjalankan peran mereka masing-masing,” jelas Hasibuan.
“Untuk menjawab itu semua, seluruh instrumen penegak hukum dan pengontrol keuangan negara perlu bangkit dan aktif. Mereka bisa saling membahu untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap kementrian dan lembaga negara lainnya. Sehingga nama JokowI dapat dipertahan dengan baik di masa tahun-tahun terakhir jabatannya ini,” tutup Hasibuan.