Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
- Tahukah antum bahwa masjid- masjid kaum muslimin di masa lalu, yang paling mengagumkan bukanlah bangunannya yang megah, atau desainnya yang indah ?
Tapi yang paling menakjubkan adalah penerapan dari ilmu akustik atau tatasuara yang sangat diperhatikan dengan baik.
- Bahkan dekorasi tertentu yang ada di masjid-masjid masa lalu, bukan hanya sekedar untuk tujuan keindahan, tapi memiliki hubungan yang erat dengan teori akustik. Diantara contohnya adalah dekorasi mirip cangkang kerang di masjid Cordova.
- Sejak pembangunan masjid pertama di masa Nabi, yakni masjid Quba, diperkirakan tidak ada cacat akustik yang terjadi.
Fisik Masjid Quba: persegi panjang, [70 x 60 hasta (dalam metrik, 39 x 26 m), dinding batu gurun yang cukup tinggi (8 hasta= 4 m) merupakan pagar. Masjid diatur beratap pelepah daun kurma dan tidak beratap seluruhnya (hanya sebagian).
Nabi saat khutbah/ceramah berdiri dan bersandar pada batang kurma, bila istirahat sejenak antara dua khutbah, duduk pada undukan tanah liat.
Pola-pola ini semua mengarah pada bentuk fungsional. Hal yang sama juga ada pada masjid Nabawi yang dibangun setelahnya.
- Masjid-masjid yang dibangun di masa- masa setelahnya, dibuat dengan sistem akustik yang lebih mengagumkan lagi. Hampir semua masjid besar di seluruh wilayah kekhalifahan Islam sangat memperhatikan masalah tata suara.
Hal ini masih bisa kita jumpai di beberapa masjid peninggalan kaum muslimin di masa lalu seperti yang ada di Damaskus, India, Turki hingga Andalusia.
Masjid – masjid itu bukan hanya memiliki bagian-bagian arsitektur yang indah, juga memperhatikan fungsi tata suara yang baik, pencahayaan dan aliran udara.
- Meskipun saat itu belum ada alat pengeras suara (elektronik), dengan memanfaatkan tehnik pantulan, suara imam yang sedang membaca ayat, khatib yang sedang berkubah, bahkan kumandang adzan, akan terdengar jelas, jernih dan seperti suara aslinya di setiap penjuru masjid.
Itulah teknologi para ilmuwan Islam pada masa itu, bagian dari ijtihad yang mengagumkan.
- Hanya sayangnya, sekarang ilmu luar biasa ini cenderung dimatikan. Boro- boro dipertahankan apalagi dikembangkan, yang ada beberapa masjid peninggalan masa lalu justru banyak yang rusak sistem akustiknya karena adanya renovasi.
Seperti masjid raya Sulaimaniah yang dilaporkan baru-baru ini kehilangan fitur akustik dalam ruangannya. Padahal sebelum proses restorasi, suara dalam masjid dapat terdengar tanpa bantuan mikrofon.
Kini, masjid itu membutuhkan mikropon guna membuat suara khutbah sampai ke seluruh ruangan, itupun ternyata masih tidak sebaik ketika masjid ini menggunakan sistem akustiknya.
- Kita begitu bergantung dengan adanya tehnologi mikrofon, lalu mengabaikan ilmu yang sebenarnya sangat bermanfaat ini. Padahal ia lebih hemat dan efesien, atau paling tidak, jika dipadukan bisa menunjang kinerja mikrofon agar menghasilkan suara yang jauh lebih baik.
Karena nyatanya meski hari ini masjid- masjid telah menggunakan alat pengeras suara, nyatanya, masalah suara masih menjadi salah satu masalah utama masjid-masjid di zaman yang katanya modern ini.
- Sebuah penelitian menyebutkan bahwa saat ini sekitar 70 % dari 250 ribu masjid di Indonesia alat pengeras suaranya kurang berfungsi dengan baik.
Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. RM Soegijanto : “Selama tiga tahun saya melakukan survei Masjid-Masjid di Bandung dan Jakarta.”
Dari survei diketahui, bahwa: Hampir 90% tatasuara masjid dinyatakan buruk. Dan akibat tata suara yang “buruk” itu, jama’ah menerima informasi yang tidak lengkap dari khatib dan penceramah, sehingga ceramah atau khutbah susah untuk dimengerti.
- Termasuk saya yang tinggal di Kaltim, di mana masjid megah ada banyak di sini, saya dapati masalah utamanya masih di seputar sistem pengaturan suaranya yang kurang baik dan tidak efektif.
Ada beberapa yang suaranya yang lumayan mantap, setelah saya tanya ternyata perangkat elektroniknya harganya tidak murah, mencapai hingga ratusan juta. Belum lagi biaya perawatan dan membutuhkan tenaga teknisi yang ahli untuk penanganannya…
Jika ada ilmunya, bermanfaat dan bisa lebih berhemat, mengapa diabaikan ?