Oleh: Sulung Nof*
Sesuatu yang bukan domain kita untuk menilai, maka sebaiknya dihindari. Kita tidak punya pengetahuan yang cukup akan hal itu. Sebab apa yang tampak tidak selalu apa yang sebenarnya terjadi. Begitupun sebaliknya.
Contoh konteksnya misal tentang ikhlas. Ketika melihat aksi sesama relawan, maka anggaplah kawan-kawan kita melakukannya karena ibadah. Karena aslinya relawan itu bekerja didasari karena Allah atau “Lillahi Ta’ala”. Itu dulu.
Nah, sekarang bagaimana cara kerja relawan agar menjelma layaknya sebuah pertunjukan orkestra yang menghadirkan sebuah simfoni? Tentu saja untuk mewujudkannya diperlukan sebuah partitur dan seorang konduktor.
Dan relawan mesti melihat sumberdaya yang dimiliki sebagai sebuah potensi. Ibarat alat musik yang digunakan dalam pentas orkestra simfoni, ada alat musik gesek (string), tiup (woodwind dan brass), dan pukul (percussion).
Masing-masing alat musik tersebut memiliki karakteristik, cara kerja, dan fungsi tersendiri. Bunyi yang dihasilkan pun berbeda. Dengan adanya partitur dan dipandu oleh konduktor, maka nada yang dihasilkan akan menakjubkan.
Ketika relawan gagal mendeskripsikan semua potensi tersebut, maka yang bakal muncul ke permukaan adalah simfoni yang berantakan. Misalnya bass drum digesek; piano dan cello ditiup; biola dan flute dipukul; dan seterusnya.
Perumpamaan ini tak ubahnya dengan ikan diminta panjat pohon; kelinci disuruh berenang; singa diperintah melata; burung dipaksa jalan kaki; tupai diarahkan berendam di air; dan lain-lain. Padahal potensinya berbeda-beda.
Beruntunglah sosok pemimpin yang kita dukung adalah seorang pendidik, yakni Bapak H. Anies Baswedan, Ph.D. Beliaulah yang akan menjadi konduktor dengan membawa partitur visi-misi Indonesia yang gemilang di masa depan.
Bandung, 16012023